Hari itu, kereta yang biasa dinaiki Dian sedikit terlambat. Dia bergegas agar tidak terlambat ke kantor. Sesampainya di Stasiun Sudirman, Dian segera berjalan cepat menuju gedung kantornya di Jalan Sudirman. Seperti biasa, dia menyapa beberapa rekan kerja di lobi sebelum naik lift ke lantai lima, tempat divisinya berada.
Pagi itu, suasana di kantor lebih sibuk dari biasanya. Ada rapat besar yang akan diadakan, dan semua orang tampak sibuk mempersiapkan presentasi mereka. Dian, yang bekerja sebagai analis keuangan, memiliki peran penting dalam menyusun laporan keuangan untuk presentasi tersebut.
“Dian, bisa kamu cek lagi laporan ini? Aku khawatir ada kesalahan di bagian anggaran pemasaran,” kata Mira, rekan sekantornya, dengan nada cemas.
“Tentu, Mira. Aku akan segera melihatnya,” jawab Dian sambil mengambil dokumen dari meja Mira.
Dian kembali ke mejanya dan mulai memeriksa laporan dengan teliti. Konsentrasinya terpecah ketika ia mendengar keributan kecil di ruang rapat. Ternyata, Rudi, manajer divisi mereka, sedang bersitegang dengan Anton, kepala bagian pemasaran.
“Kita tidak bisa menggunakan anggaran sebesar itu! Ini akan merusak seluruh rencana keuangan kita,” seru Rudi dengan nada tinggi.
“Tapi ini satu-satunya cara untuk meningkatkan penjualan! Tanpa anggaran tambahan, kita tidak akan mencapai target,” balas Anton dengan suara yang sama kerasnya.
Dian mendengarkan perdebatan itu sambil tetap berfokus pada tugasnya. Ia tahu, konflik semacam ini sering terjadi di kantor, terutama menjelang presentasi penting. Namun, kali ini terasa lebih intens.
Setelah beberapa saat, Dian menemukan kesalahan dalam laporan dan segera memperbaikinya. Dia lalu menuju ruang rapat untuk menyerahkan dokumen yang sudah diperbaiki kepada Rudi.
“Rudi, aku sudah memeriksa laporan ini. Ada beberapa kesalahan di bagian anggaran pemasaran, tapi sekarang sudah aku perbaiki,” kata Dian sambil menyerahkan dokumen itu.
Rudi menatap Dian dengan wajah lega. “Terima kasih, Dian. Kamu selalu bisa diandalkan.”
Rapat pun dimulai, dan Dian kembali ke mejanya. Di tengah kesibukan, pesan dari Bima masuk ke ponselnya.
“Hai, Dian. Bagaimana harimu?” tanya Bima dalam pesannya.
Dian tersenyum dan segera membalas. “Hai, Bima. Cukup sibuk, ada rapat besar di kantor. Bagaimana denganmu?”
“Proyekku juga sedang ramai. Banyak yang harus diselesaikan,” balas Bima.
Mereka berbincang sebentar melalui pesan singkat, memberikan semangat satu sama lain. Dian merasa lebih baik setelah berbicara dengan Bima. Kehadiran Bima, meski hanya lewat pesan, memberinya kekuatan untuk menghadapi hari yang penuh tantangan.
Sore harinya, setelah rapat selesai, Dian dan Mira berbincang di pantry. “Hari ini benar-benar melelahkan,” kata Mira sambil menyeruput kopi.
“Ya, tapi setidaknya semuanya berjalan lancar. Semoga hasilnya sesuai harapan,” balas Dian.
Mira menatap Dian dengan senyum kecil. “Kamu selalu bisa diandalkan, Dian. Aku kagum dengan ketenanganmu menghadapi semua ini.”
Dian tersenyum. “Kita semua bekerja keras, Mira. Yang penting, kita saling mendukung.”
Setelah jam kerja berakhir, Dian merasa lega. Hari yang penuh dinamika di kantor telah berlalu. Dalam perjalanan pulang dengan KRL, Dian kembali merenung. Kantor memang sering kali menjadi tempat penuh tekanan dan konflik, namun juga tempat di mana dia belajar banyak hal tentang kerjasama dan ketangguhan.
Saat kereta melaju menuju Bogor, Dian memikirkan hari-harinya di kantor. Meskipun penuh dengan tantangan, dia merasa beruntung memiliki rekan-rekan yang selalu mendukung. Dan tentu saja, kehadiran Bima yang selalu memberi semangat, meski dari kejauhan, membuat segala sesuatu terasa lebih mudah.
Keesokan harinya, Dian kembali ke stasiun dengan semangat baru. Ia siap menghadapi hari baru dengan segala tantangan dan cerita yang akan datang. Setiap perjalanan adalah kesempatan untuk belajar dan tumbuh, dan Dian merasa siap untuk menghadapi apapun yang ada di depannya.
Siap menerima info dan artikel menarik langsung di email Anda?
Ayo, bergabung sekarang! Gratis!