Di sebuah sudut kota yang ramai, Dina duduk di kafe favoritnya, termenung memikirkan hubungan yang telah membawa kebahagiaan sekaligus ketakutan dalam hidupnya. Pikiran Dina melayang ke arah Rian, pria yang telah mencuri hatinya, meskipun ia tahu hubungan mereka tidak mudah dan penuh resiko.
Pagi itu, Rian mengirim pesan singkat mengajak Dina bertemu di taman tempat mereka biasa menghabiskan waktu bersama. Dina merasakan perasaan campur aduk antara kebahagiaan dan kegelisahan. Ia tahu bahwa momen ini akan menjadi penting bagi mereka berdua.
Saat mereka bertemu, Dina bisa merasakan ada yang berbeda dalam tatapan mata Rian. “Dina, kita perlu bicara. Aku tidak bisa terus seperti ini,” ujar Rian dengan suara yang tenang namun penuh tekanan.
Dina menatap Rian dengan cemas. “Ada apa, Rian? Apa yang terjadi?”
Rian menghela napas panjang sebelum menjawab. “Aku mencintaimu, Dina. Itu tidak pernah berubah. Tapi aku tidak bisa lagi hidup dalam kebohongan. Hubungan kita semakin sulit untuk disembunyikan, dan aku merasa bersalah setiap kali memikirkan keluargaku.”
Dina merasa hatinya hancur mendengar kata-kata Rian. “Aku juga mencintaimu, Rian. Tapi aku tidak ingin menjadi alasan kehancuran keluargamu. Apa yang harus kita lakukan?”
Rian menatap Dina dengan tatapan penuh kesedihan. “Aku tidak tahu, Dina. Aku bingung antara memilih cinta kita atau tanggung jawabku sebagai suami dan ayah. Aku merasa terjebak di persimpangan yang sulit.”
Mereka berdua terdiam, mencoba merenungkan situasi yang semakin rumit. Dina tahu bahwa keputusan ini tidak mudah, dan ia juga tidak ingin memaksa Rian memilih antara dirinya dan keluarganya.
Malam itu, Dina dan Rian memutuskan untuk berbicara secara terbuka dan jujur. Mereka duduk di bangku taman, diterangi cahaya lampu yang redup. Suasana malam yang tenang membuat percakapan mereka semakin serius.
“Dina, aku ingin kita menemukan jalan yang terbaik, meskipun itu berarti kita harus berpisah. Aku tidak ingin menyakitimu atau keluargaku,” kata Rian dengan suara yang berat.
Dina merasakan air mata menggenang di matanya. “Rian, aku juga ingin yang terbaik untukmu dan keluargamu. Tapi aku tidak bisa berpura-pura bahwa perasaan ini tidak ada. Aku mencintaimu dan aku tahu kamu juga mencintaiku.”
Rian mengusap air mata Dina dengan lembut. “Aku mencintaimu, Dina. Tapi aku harus mempertimbangkan semuanya. Mungkin kita perlu memberi waktu untuk memikirkan apa yang benar-benar kita inginkan.”
Hari-hari berikutnya terasa begitu berat bagi Dina. Ia mencoba untuk fokus pada pekerjaannya, namun bayangan Rian selalu hadir di pikirannya. Setiap kali melihat Rian di kantor, perasaan cinta dan kebingungan semakin mendalam.
Suatu hari, Rian mengajak Dina untuk bertemu di sebuah kafe yang tenang. Mereka duduk di sudut yang sepi, saling menatap dengan penuh perasaan.
“Dina, aku telah memikirkan ini dengan matang. Aku mencintaimu, tapi aku juga harus bertanggung jawab atas keluargaku. Kita tidak bisa terus seperti ini,” kata Rian dengan suara yang tegas namun penuh kesedihan.
Dina menatap Rian dengan mata yang berkaca-kaca. “Apa yang kamu putuskan, Rian?”
Rian menghela napas panjang. “Aku harus fokus pada keluargaku, Dina. Meskipun itu berarti kita harus berpisah. Aku tidak ingin menyakitimu, tapi aku juga tidak bisa mengabaikan tanggung jawabku sebagai suami dan ayah.”
Mendengar keputusan Rian, Dina merasa hatinya hancur. Tapi ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang tepat. “Aku mengerti, Rian. Aku juga tidak ingin menjadi penyebab kehancuran keluargamu. Meskipun ini berat, aku akan menghormati keputusanmu.”
Mereka berdua saling berpelukan, merasakan kehangatan yang penuh dengan kesedihan. Malam itu, mereka berpisah dengan hati yang berat, namun penuh dengan pengertian. Dina dan Rian tahu bahwa keputusan ini adalah yang terbaik, meskipun itu berarti mereka harus mengorbankan cinta mereka.
—
TAMAT
Siap menerima info dan artikel menarik langsung di email Anda?
Ayo, bergabung sekarang! Gratis!