Pagi itu, cuaca di Bogor cerah, namun hati Dian diliputi awan kelabu. Dia merasa ada yang tidak beres, seperti firasat buruk yang menghantuinya. Sesampainya di stasiun, dia melihat kereta sudah menunggu. Dengan langkah berat, dia naik dan menemukan tempat duduk di dekat jendela.
Di stasiun berikutnya, Bima naik dan langsung duduk di sebelah Dian. Mereka saling menyapa seperti biasa, tapi Dian merasa ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Bima.
“Dian, aku ingin bicara,” kata Bima, suaranya terdengar serius.
Dian menatap Bima, merasa cemas. “Apa yang terjadi, Bima?”
Bima menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Tunangan saya, Rani, ingin kita menikah segera. Dia merasa tidak ada gunanya menunda lagi. Tapi… aku merasa belum siap. Ada banyak hal yang belum kita bicarakan.”
Dian merasakan ketegangan dalam diri Bima. Dia ingin membantu, tapi tidak tahu harus berkata apa. “Bima, menikah adalah keputusan besar. Jika kamu merasa belum siap, bicarakan dengan Rani. Komunikasi adalah kunci.”
Bima mengangguk, tapi wajahnya tetap tegang. “Aku tahu, Dian. Tapi semakin aku berpikir, semakin aku merasa bahwa mungkin… mungkin aku tidak mencintainya seperti yang seharusnya.”
Kata-kata Bima membuat hati Dian berdebar. Dia tidak ingin mengakui perasaannya sendiri, tapi mendengar Bima berbicara seperti itu membuatnya semakin sadar akan apa yang dia rasakan. Namun, ini bukan saatnya untuk memikirkan dirinya sendiri.
“Satu-satunya cara untuk mengetahui pasti adalah dengan jujur pada dirimu sendiri dan pada Rani. Itu tidak akan mudah, tapi kamu harus melakukannya,” kata Dian dengan lembut.
Perjalanan menuju Jakarta terasa lebih lama dari biasanya. Dian dan Bima tidak banyak bicara setelah itu, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ketegangan emosional itu terasa menekan.
Sesampainya di stasiun Sudirman, mereka berpisah dengan salam singkat. Dian melanjutkan langkahnya menuju kantor, mencoba fokus pada pekerjaannya. Namun, pikiran tentang Bima terus mengganggu.
Di kantor, suasana tidak lebih baik. Ada masalah besar dengan salah satu proyek klien, dan Rudi, manajer divisi mereka, terlihat sangat marah. “Dian, aku butuh laporan lengkap tentang masalah ini secepatnya!”
“Baik, Pak. Saya akan segera menyiapkannya,” jawab Dian sambil mencoba tetap tenang.
Mira mendekati Dian setelah Rudi pergi. “Apa yang terjadi, Dian? Kamu terlihat sangat tegang.”
Dian tersenyum lemah. “Banyak yang terjadi, Mira. Masalah pribadi dan masalah kantor bertumpuk jadi satu.”
Mira menepuk bahu Dian dengan lembut. “Kamu kuat, Dian. Kamu pasti bisa melewati ini.”
Dian merasa sedikit terhibur dengan kata-kata Mira. Dia segera fokus pada pekerjaannya, menyusun laporan dengan teliti meski pikirannya masih penuh dengan kekhawatiran.
Sore harinya, saat semua orang sudah pulang, Dian tetap di kantor menyelesaikan pekerjaannya. Dia merasa perlu waktu sendiri untuk merenung dan mencari ketenangan. Setelah laporan selesai, Dian merasa sedikit lega. Dia mengambil ponselnya dan melihat pesan dari Bima.
“Hai, Dian. Terima kasih sudah mendengarkan tadi pagi. Aku akan berbicara dengan Rani malam ini. Doakan aku.”
Dian tersenyum tipis dan membalas pesan itu. “Aku selalu mendukungmu, Bima. Semoga semuanya berjalan lancar.”
Dalam perjalanan pulang dengan KRL, Dian merenung. Hidup memang penuh dengan ketegangan emosional, tapi dia tahu bahwa setiap tantangan adalah kesempatan untuk tumbuh. Bima, Rani, dan dirinya sendiri, semuanya sedang mencari jalan menuju kebahagiaan.
Sesampainya di rumah, Dian duduk di teras sambil menikmati angin malam. Ia menuliskan perasaannya dalam jurnal, mencoba memahami apa yang sebenarnya ia rasakan. Ia tahu bahwa perasaannya pada Bima tidak bisa diabaikan, tapi juga tidak bisa buru-buru diungkapkan.
Keesokan harinya, Dian kembali ke stasiun dengan hati yang lebih tenang. Dia siap menghadapi hari baru, dengan segala tantangan dan cerita yang akan datang. Setiap perjalanan adalah bagian dari perjalanan hidupnya yang penuh warna.
Siap menerima info dan artikel menarik langsung di email Anda?
Ayo, bergabung sekarang! Gratis!

























