Hari-hari berlalu dengan tekanan yang semakin meningkat bagi Ramadan. Setiap kali ia bertemu dengan Doni dan teman-temannya, situasi selalu menjadi tidak nyaman. Meskipun Ramadan selalu berusaha menghindari konfrontasi, sikap para senior itu semakin menjadi-jadi. Ramadan tahu bahwa cepat atau lambat, ia harus mengambil sikap.
Pada suatu hari Jumat, setelah jam terakhir berakhir, Ramadan berjalan menuju ruang kelas untuk mengambil buku yang tertinggal. Ruangan itu sepi, hanya suara langkah kaki Ramadan yang terdengar. Ia merasa sedikit lega bisa menikmati ketenangan ini sejenak. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Saat Ramadan hendak keluar dari kelas, ia melihat Doni dan dua temannya berdiri di pintu, menghalangi jalan keluar.
“Hei, anak baru. Kita belum selesai,” kata Doni dengan nada menantang.
Ramadan menghela napas panjang, berusaha tetap tenang. “Apa lagi yang kalian inginkan?” tanyanya sambil menjaga nada suaranya tetap rendah.
Doni melangkah maju, mendekatkan wajahnya ke Ramadan. “Kamu pikir kamu bisa sok jago di sini? Ini wilayah kami, dan kamu harus tahu tempatmu,” katanya sambil mendorong dada Ramadan dengan jari telunjuknya.
Ramadan merasakan dorongan untuk membela diri, tetapi ia masih mencoba untuk tidak memperburuk keadaan. “Saya tidak mau masalah. Saya hanya ingin belajar dan menjalani hari dengan damai,” jawabnya dengan suara datar.
Namun, kata-kata Ramadan tampaknya hanya membuat Doni semakin marah. “Damai? Kamu pikir kita akan membiarkan kamu begitu saja?” kata Doni sambil memberikan isyarat kepada teman-temannya. Mereka segera mengelilingi Ramadan, memaksanya mundur hingga punggungnya menempel ke dinding.
Salah satu teman Doni, Raka, menambahkan, “Kamu harus belajar untuk menghormati senior, anak baru.”
Pada titik itu, Ramadan menyadari bahwa tidak ada lagi cara untuk menghindar. Ia harus membela dirinya, tetapi ia juga tahu bahwa memperlihatkan keahliannya dalam bela diri di depan mereka bisa memicu lebih banyak masalah. Namun, jika ia tidak mengambil sikap, mereka akan terus mengganggunya dan mungkin juga teman-temannya.
Dengan tenang, Ramadan memutuskan untuk berbicara sekali lagi. “Saya sudah cukup bersabar. Jika kalian tetap memaksa, saya tidak akan diam saja,” katanya dengan tegas.
Doni tertawa kecil. “Oh, jadi kamu mau melawan? Ayo kita lihat apa yang bisa kamu lakukan,” katanya sambil mengayunkan tinjunya ke arah Ramadan.
Dengan refleks cepat, Ramadan menangkis pukulan Doni dan mengunci pergelangan tangannya, membuat Doni terkejut dan kesakitan. “Lepaskan!” teriak Doni, mencoba melepaskan diri.
Ramadan melepaskan Doni dan mundur beberapa langkah, menjaga jarak. “Saya tidak ingin bertarung. Tapi jika kalian tetap memaksa, saya tidak punya pilihan lain,” kata Ramadan dengan tenang.
Raka dan satu lagi teman Doni, Bimo, tampak ragu-ragu sejenak sebelum melangkah maju. Namun, Ramadan sudah siap. Dengan gerakan yang terlatih, ia berhasil menghindari serangan mereka dan mengunci gerakan Bimo, membuatnya terjatuh ke lantai. Raka yang melihat itu menjadi ciut nyalinya dan mundur perlahan.
Melihat situasi itu, Doni tampak bingung dan marah. “Ini belum selesai, Ramadan. Kamu akan menyesal,” katanya sebelum pergi dengan teman-temannya, meninggalkan Ramadan sendirian di kelas.
Setelah mereka pergi, Ramadan merasa campuran antara lega dan cemas. Ia tahu bahwa menunjukkan kemampuannya tadi mungkin membuat masalahnya bertambah besar. Namun, ia juga merasa bahwa ia telah melakukan hal yang benar untuk membela diri.
Keesokan harinya, Ramadan mendapati bahwa berita tentang kejadian kemarin menyebar dengan cepat di seluruh sekolah. Beberapa siswa memandangnya dengan rasa hormat yang baru, sementara yang lain tampak penasaran dan ingin tahu lebih banyak tentang dirinya. Fajar mendekatinya dengan senyum lebar. “Kamu keren, Ram. Akhirnya ada yang berani melawan Doni dan gengnya,” katanya.
Ramadan hanya tersenyum tipis. “Saya hanya tidak ingin diganggu lagi, Faj. Semoga mereka tidak mencari masalah lagi,” jawabnya.
Namun, dalam hatinya, Ramadan tahu bahwa ia harus selalu waspada. Hari-hari di sekolah unggulan ini mungkin tidak akan pernah benar-benar tenang, tetapi ia siap menghadapi segala tantangan yang akan datang. Dengan tekad yang kuat, Ramadan berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap berpegang pada prinsipnya dan terus maju, apa pun yang terjadi.
Siap menerima info dan artikel menarik langsung di email Anda?
Ayo, bergabung sekarang! Gratis!