Adel menatap keluar jendela kamar barunya yang masih dipenuhi kardus-kardus pindahan. Rumah tua yang mereka tempati berada di pinggiran kota kecil yang jauh dari hiruk pikuk metropolitan. Tak ada suara kendaraan, tak ada teman-teman seperti di kota sebelumnya. Hanya kesunyian dan suara angin yang sesekali menggerakkan ranting pohon besar di halaman.
“Hidup di sini akan membosankan,” gumamnya.
Saat itulah ibunya memanggil dari lantai bawah, meminta Adel membantu membereskan loteng. Dengan enggan, Adel menaiki tangga sempit yang berderit di bawah pijakannya, menuju loteng yang dipenuhi debu dan sarang laba-laba.
Loteng itu gelap, dan Adel harus menggunakan senter dari ponselnya untuk melihat. Ketika sinar terang menyorot ke sekeliling ruangan, Adel melihat tumpukan barang-barang tua, termasuk perabotan kayu usang dan kotak-kotak yang tampaknya sudah tidak dibuka selama bertahun-tahun.
“Hati-hati di sana, banyak barang tua. Jangan sampai merusaknya!” teriak ibunya dari bawah.
Adel mengelap keringat di dahinya dan mulai mendorong beberapa kotak ke samping. Saat itulah matanya tertuju pada sesuatu di sudut ruangan, tertutup kain putih berdebu. Dengan rasa penasaran, Adel mendekati benda itu dan menarik kainnya. Di baliknya, sebuah cermin antik berdiri tegak. Bingkainya besar, dengan ukiran rumit yang tampak seperti akar-akar pohon menjalar di sekelilingnya. Debu tebal menutupi permukaannya, membuat refleksi di cermin nyaris tak terlihat.
“Cermin tua…” Adel bergumam sambil mengelap permukaannya dengan tangannya. Ketika dia membersihkan debu itu, wajahnya mulai terlihat di cermin. Namun, ada yang aneh. Dia merasa seolah-olah ada sesuatu yang bergerak di belakangnya. Adel menoleh cepat, tapi tidak ada apa-apa. Hanya loteng yang sunyi, dengan kotak-kotak dan barang-barang tua.
Sebuah rasa tidak nyaman menyelusup ke dalam pikirannya. Adel mencoba mengabaikannya dan kembali menatap cermin. Refleksi dirinya tampak normal sekarang, tapi sepertinya ada sesuatu yang berbeda dari cermin itu. Permukaannya terlalu bersih untuk ukuran benda setua itu, seolah-olah waktu tidak pernah menyentuhnya.
Adel tersenyum kecil, berpikir bahwa cermin ini akan cocok ditempatkan di kamarnya sebagai hiasan. Dia membungkuk sedikit untuk melihat lebih dekat detail bingkainya yang unik. Ukirannya rumit, penuh dengan pola-pola seperti sulur tanaman yang hampir tampak hidup. Sesaat, Adel merasa seperti ukiran itu bergerak, tapi dia menepis perasaan aneh itu sebagai imajinasinya saja.
Tanpa sengaja, Adel menekan sedikit pada permukaan cermin, dan dia terkejut saat mendengar suara berderak kecil dari balik cermin tersebut. Rasa penasaran semakin besar. Dia meraba-raba bagian belakang cermin, mencari tahu apa yang menyebabkan suara itu. Namun, tak ada yang aneh.
Adel memutuskan untuk mengangkat cermin itu dan membawanya ke kamarnya. Saat dia turun dari loteng, ibunya menyapanya dengan senyuman.
“Kamu menemukan sesuatu?” tanya ibunya.
“Ya, sebuah cermin tua. Mungkin ini milik pemilik rumah sebelumnya,” jawab Adel sambil menurunkan cermin itu dengan hati-hati.
Malamnya, Adel merasa tidak nyaman. Dia berbaring di tempat tidur, menatap cermin yang kini berada di sudut kamarnya. Cahaya bulan memantul dari permukaan cermin, menciptakan bayangan aneh di dinding. Adel mencoba untuk tidur, tetapi setiap kali dia menutup matanya, dia merasa seperti sedang diawasi.
Tak lama kemudian, dia terbangun karena mendengar suara kecil seperti sesuatu yang bergerak. Jantungnya berdegup kencang saat dia melihat ke arah cermin. Refleksi dirinya terlihat, tapi bayangan itu tidak benar-benar mirip dengannya. Refleksi itu tampak sedikit kabur, dan di sudut pandangnya, dia melihat sekelebat bayangan gelap bergerak cepat di belakangnya.
Adel duduk tegak, panik. Dia menatap cermin dengan saksama, tetapi kali ini hanya ada pantulan dirinya sendiri—tidak ada yang aneh. Namun, perasaan takut itu tidak hilang.
Esok paginya, Adel memutuskan untuk kembali ke loteng dan mencari tahu lebih banyak tentang cermin itu. Dia berharap menemukan petunjuk, mungkin dokumen atau foto tua yang bisa memberi tahu siapa pemilik sebelumnya. Saat mengacak-acak tumpukan barang di loteng, dia menemukan sebuah buku catatan lusuh di dalam laci meja kecil. Buku itu penuh dengan coretan tangan yang tampak tergesa-gesa, seolah-olah pemiliknya menulis di saat genting.
Adel membuka buku itu, dan di halaman pertama tertulis, “Cermin ini menyimpan lebih dari sekadar bayangan. Hati-hati dengan apa yang kamu lihat.”
Adel menggigil. Tulisan itu tampak seperti peringatan. Tapi, peringatan untuk apa? Dan siapa yang menulisnya?
Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di pikirannya sepanjang hari. Adel mulai merasa bahwa cermin itu mungkin bukan sekadar barang antik biasa. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik permukaannya, sesuatu yang menunggu untuk ditemukan.
Dan malam itu, saat Adel kembali ke kamarnya, cermin tua itu seolah berkilauan dalam kegelapan—seperti sedang memanggilnya.
—
Silahkan baca cerbung lainnya;
Lihat juga novel menarik di Gramedia.
Siap menerima info dan artikel menarik langsung di email Anda?
Ayo, bergabung sekarang! Gratis!