Salam pariwisata,…
Saya akan memperkenalkan kampung halaman saya, Kabupaten Wakatobi yang terletak di provinsi Sulawesi Tenggara. Kebetulan tahun lalu, tepatnya Maret 2017, saya memiliki kesempatan untuk menjenguk tanah kelahiran. Tidak setiap waktu saya bisa pulang kampung. Maklum, saya perantau yang saat ini bekerja di pulau Sumatera.
Selama ini, saya sering sekali membaca tulisan-tulisan yang mengulas tentang keindahan Wakatobi. Sebagai putra daerah yang tinggal jauh dari Wakatobi, saya ingin juga ingin berpartisipasi membuat tulisan yang mempromosikan daerah asal saya tersebut. Semoga Wakatobi semakin dikenal kalayak ramai, tidak hanya di dalam negeri, tapi juga di luar negeri.
Sebelumnya, saya akan bercerita mengenai asal usul nama Wakatobi. Wakatobi adalah gabungan dari empat pulau, yaitu Wangi Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko. Selain keindahan alam-nya, Wakatobi terkenal dengan para pandai besi-nya. Parang dan pisau adalah salah satu produk yang dihasilkan oleh para pandai besi. Kokoh dan tidak mudah karat. Tak heran jika Wakatobi pun dikenal dengan nama Kepulauan Tukang Besi.
Keluarga besar saya tinggal di pulau Wangi-Wangi. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan Pulau Wanci. Pulau ini merupakan pintu gerbang Wakatobi. Jaraknya dari ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari, sekitar 370 km. Dari Kendari ada penerbangan langsung ke Wakatobi, turun di Bandara Matahora yang berada di Pulau Wangi-Wangi. Lama penerbangan sekitar 45 menit. Salah satu maskapai penerbangan nasional melayani penerbangan tiga kali dalam satu minggu.
Pilihan lain adalah naik kapal jetliner atau bisa juga naik kapal kayu, tapi kita harus sabar karena waktu yang dibutuhkan dalam perjalanan sangat lama. Jadwal kapal jetliner adalah seminggu dua kali. Berangkat dari Kendari jam 7 pagi, tiba di Wakatobi jam 6 pagi keesokan harinya. Sedangkan kapal kayu tersedia setiap hari. Berangkat dari Kendari jam 9 malam, tiba di Wakatobi keesokan harinya jam 7 pagi.
Sedangkan, untuk transportasi antar pulau di Kepulauan Wakatobi, digunakan kapal kayu. Seperti penyeberangan dari dan ke Wanci – Kaledupa, Kaledupa -Tomia dan Tomia – Binongko.
Di Pulau Wanci ada banyak pantai yang indah-indah. Saya menyempatkan diri mengajak anak-anak dan isteri untuk bermain ke salah satu pantai, yaitu Pantai Kaluku Sahu’u. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama Pantai Satu.
Berada di pantai ini, melihat langsung keagungan dan kebesaran Allah SWT, Tuhan semesta alam . Terasa sekali bahwa diri ini sangatlah kecil. Sebaliknya, begitu indah dan luas laut ciptaan-Nya.
Pantai Kaluku Sahu’u masih sangat alami. Pasirnya sangat bersih. Beberapa tempat di bibir pantai, terlihat batu karang. Di pinggir pantai pun masih banyak pohon yang tumbuh. Menikmati suasana pantai ini, seakan lupa dengan masalah yang ada. Birunya lautan, suara air laut dan ombak kecil yang mencapai pantai, suara angin yang menggelitik telinga, benar-benar membuat jiwa menjadi tenang. Laut pun terlihat sangat luas, seakan tanpa batas, kecuali garis horizon bumi.
Di pantai ini, sang buah hati bermain pasir dan air laut. Hanya kebahagiaan yang terasa melihat mereka bermain dan bergembira. Sesekali saya mengabadikan moment ini dengan kamera digital. Sayapun jadi teringat akan masa kecil di Pulau Wanci. Seperti mereka, waktu kecil, saya senang sekali bermain di sana. Menjelang pagi hari, kadang kala saya duduk di pantai, menikmati indahnya sunrise. Didahului oleh cahayanya yang berpendar di ufuk timur, kemudian matahari perlahan-lahan terbit. Sungguh luar biasa indahnya.
Di pinggir pantai, kita dapat melihat batu yang besar, batu ini namanya Paka, batu yang besar dan tinggi. Di atasnya ditumbuhi pohon dan rumput kecil. Samping kiri dan kanan batu ini adalah pasir putih dan pusat mata air tawar. Kalau batu besarnya berada di tengah laut dan tinggi maka di namakan Nua.
Nah, di pantai Kaluku Sahu’u ini, kita juga dapat melihat pohon langka. Pohon ini namanya Tongke. Pohon ini masuk wilayah Desa Longa. Jumlahnya hanya ada tiga pohon. Pohon ini tumbuh dari jaman nenek moyang kami dulu. Usia pohon ini diperkirakan sudah lebih dari 100 tahun, karena kakek saya saja usianya sudah lebih dari 100 tahun. Jarak dari satu pohon ke pohon yang lain kurang lebih 1km . Sedangkan jaraknya dari pinggir pantai kurang lebih 200 meter pada kedalaman air laut lebih dari 3 meter. Pohon ini benar-benar tumbuh di tengah laut. Tidak ada yang tahu siapa yang menanam pohon ini dan kenapa hanya 3 pohon saja. Bukan untuk melebih-lebihkan, tapi pohon ini memiliki daya tarik tersendiri jika kita sudah pernah melihatnya. Itulah pohon Tongke.
Ada satu hal lagi, kita juga bisa menemukan hewan laut yang unik, sejenis bulu babi atau lebih dikenal dengan landak laut. Bahasa latinnya Echinoidea. Orang kampungku menyebutnya “Lei”. Hewan ini termasuk hewan yang giat di malam hari atau hewan nokturnal. Lei bisa dimakan dan bergizi tinggi. Rasanya pun sangat enak. Kami biasanya mengumpulkan sebanyak mungkin lalu dibelah untuk diambil isinya. Tapi harus hati-hati, jangan sampai tertusuk oleh durinya yang tajam. Isi Lei tersebut kemudian disatukan dalam satu wadah. Bentuk isinya seperti telur ikan. Cara mengolahnya adalah digoreng. Ada juga yang mengolahnya dengan dikukus juga dibakar. Kadangkala dimakan dalam kondisi masih segar. Jika kita penyuka sashimi, maka kemungkinan kita juga akan suka memakan lei segar. Di Jepang, kabarnya, bulu babi ini merupakan salah satu makanan mahal.
Berbeda dengan pantai di Pulau Bali, pantai ini masih belum ramai pengunjungnya. Tapi beberapa tahun terakhir, pemerintah dan pihak-pihak pemangku kepentingan lainnya sudah mulai gencar mempromosikan objek wisata yang ada di Wakatobi, termasuk Pantai Kaluku Sahu’u ini.
Semoga artikel ini ikut memberikan kontribusi kepada kemajuan pariwisata di Indonesia, khususnya Wakatobi. Salam dari saya, putra asli Pulau Wanci yang selalu merindukan kampung halaman. (La Rudawin)
Siap menerima info dan artikel menarik langsung di email Anda?
Ayo, bergabung sekarang! Gratis!